Kebijakan tentang kemasan rokok polos tanpa merek melalui Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) memang menuai kontroversi di masyarakat. Banyak yang merasa bahwa kebijakan ini tidak didasarkan pada kajian ilmiah yang memadai dan berpotensi merugikan para pelaku usaha serta memberikan tekanan tambahan pada perekonomian nasional.
Menurut Ketua Bidang Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Sutrisno Iwantono, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 beserta aturan turunannya, yaitu RPMK, dianggap memiliki cacat hukum dan dapat merugikan berbagai pihak. Banyak asosiasi, termasuk di sektor periklanan dan tembakau, telah mengajukan protes terhadap kebijakan tersebut. Mereka menyoroti beberapa kejanggalan dalam regulasi, seperti zonasi dan batasan jarak yang dianggap tidak adil bagi pelaku usaha yang sudah ada terlebih dahulu.
Sutrisno juga menekankan bahwa kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek dapat merugikan karena konsumen mungkin akan beralih ke produk ilegal yang lebih murah. Hal ini tentu tidak akan membantu mencapai target penurunan prevalensi perokok. Dia juga menegaskan bahwa kebijakan ini bertentangan dengan Undang-Undang yang melindungi hak atas merek dan menciptakan tabrakan hukum.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, juga mengungkapkan kekhawatirannya terhadap dampak ekonomi dari kebijakan ini. Industri rokok memang menyumbang sebagian besar penerimaan negara, dan regulasi yang berlebihan dapat memperburuk situasi ekonomi, terutama di tengah defisit anggaran yang dihadapi pemerintah.
Tauhid mencatat bahwa penerapan kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,03%, yang berdampak luas terhadap sektor industri. Dia juga menyinggung bahwa kebijakan serupa di negara lain telah menyebabkan peningkatan pembelian rokok ilegal dan penurunan kesadaran konsumen terhadap informasi produk.
Dengan adanya protes dari berbagai pihak, Tauhid menekankan perlunya diskusi lebih lanjut antara Kementerian Kesehatan dan kementerian terkait sebelum menerapkan kebijakan ini. Pemerintah perlu mencari solusi dan strategi substitusi untuk mendukung ekonomi yang berpotensi terpuruk akibat kebijakan tersebut.
Dalam hal ini, penting bagi pemerintah untuk tidak hanya fokus pada aspek kesehatan, tetapi juga mempertimbangkan dampak kebijakan terhadap industri, perekonomian, dan masyarakat secara keseluruhan. Diskusi yang lebih mendalam dan inklusif dapat membantu mencapai solusi yang lebih baik dan mengurangi potensi dampak negatif dari kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek.