Seni tradisional bantengan asal Malang, Jawa Timur sudah ada sejak zaman Kerajaan Singasari. Seni tradisional ini telah berkembang menjadi pertunjukan yang selalu ditampilkan saat karnaval atau acara bersih desa. Kegiatan bersih desa sering dilakukan pada bulan Suro dalam kalender Jawa, atau pada bulan Muharram dalam kalender Islam, Hijriah.
Bersih desa biasanya dilakukan dengan syukuran yang disertai dengan pertunjukan beberapa kesenian tradisional, termasuk bantengan, yang juga ditampilkan dalam karnaval. Takim Galogo Jati, seorang seniman bantengan dari Malang, mengungkapkan bahwa seni ini merupakan warisan dari Kerajaan Singasari yang terdokumentasi dalam relief di Candi Jago.
Relief tersebut menggambarkan pertarungan antara banteng melawan asu ajat, yang lambat laun kemudian diadopsi oleh grup-grup pencak silat di Kabupaten Malang. Dari situlah bantengan di Candi Jago mulai menjadi bagian dari seni bela diri pencak silat dan terus dipentaskan hingga sekarang.
Bantengan berasal dari kata “nandoko” dalam bahasa Jawa kuno, dan kisah ini juga terdapat dalam beberapa kitab kuno yang menceritakan kearifan lokal berbeda-beda di daerah Malang. Meskipun pertunjukan bantengan telah mengalami perubahan dari zaman ke zaman, mulai dari dimainkan di padepokan pencak silat di lereng pegunungan hingga menjadi pentas seni di jalanan, perkampungan, pedesaan, hingga kota.
Setiap grup memiliki versi cerita dan kearifan lokalnya sendiri, yang bisa berasal dari cerita leluhur atau tokoh-tokoh penting dalam sejarah daerah tersebut. Dengan perkembangan ini, bantengan tidak hanya menjadi bagian dari tradisi lama, tetapi juga menjadi bagian dari kekayaan seni dan budaya yang terus hidup dan berkembang.
Dengan adanya variasi cerita dan penampilan bantengan, seni tradisional ini tetap mempertahankan keasliannya dan menjadi bagian penting dari identitas budaya masyarakat Malang. Melalui pertunjukan bantengan, warisan dari Kerajaan Singasari terus dijaga dan dilestarikan untuk generasi selanjutnya.